Dear
Negara Tercintaku, Indonesia ...
Indonesia,
satu kata itu cukup mempengaruhi ranah hidupku. Aku lahir di negara itu, dan aku dibesarkan
pula di negara itu. Mungkin bukan hanya mempengaruhi ranah hidupku, melainkan
ranah hidup rakyat Indonesia yang lain.
Negara
tetangga banyak yang mengakatakan, bahwa Indonesia adalah wilayah yang katanya
berkependudukan padat, wilayah yang katanya strategis dalam kancah perdagangan,
wilayah yang katanya memiliki sumber daya alam utama terbanyak, dan wilayah
yang katanya hijau dan sejuk dengan pepohonan rindang serta gunung-gunung yang
membentang disetiap dataran tinggi di Indonesia. Namun bila kita telaah lebih
jauh kembali, apakah semua itu sudah menjadi realitas saat ini?? Sepertinya
semua itu hanya terdengar “katanya” ditelinga rakyat Indonesia. Lantas apa yang
sesungguhnya terjadi?? Sepertinya rakyat Indonesia tidak menikmati keindahan
Indonesia yang sesungguhnya. Sepertinya, apapun yang dilontarkan dari
negara-negara tetangga tersebut seakan-akan hanya kamuflase belaka bagi rakyat
Indonesia. Mengapa harus adahal seperti itu wahai Indonesiaku?? Karena
sepertinya yang menikmati keindahan Indonesia itu hanya para tuan-tuan
berpakaian jas dan berdasi saja, serta nyonya berpakaian dress mewah dengan
highheels yang terkadang kita tak sanggup untuk mengukur ketinggian haknya.
Miris bukan?? Benarkah Indonesiaku seperti itu??
Mari
kita potret ulang, kilas balik Indonesia beberapa tahun silam hingga tahun ini.
Kita awali dengan peristiwa tahun 98, peritiwa ini cukup mengegerkan berbagai
belahan dunia saat itu. Bila digambarkan, yang teringat oleh banyak orang
mungkin hanya terlihat mahasiswa yang kerap turun ke jalan, aksi sana-sini,
namun dibalik itu semua sebetulnya dilakukan untuk mempertahankan aspirasinya,
memprtahankan keadilan yang sesungguhnya. Saya sempat teringat dengan kata
seorang kakak tingkat saya dulu, beliau pernah bertanya kepada saya seperti
ini, “apakah tanggapan kamu tentang aksi-aksi mahasiswa yang turun ke jalan?”
diawal saya bilang kalau aksi itu “menakutkan”, lantas kaka itu mencoba untuk
menengahi, beliau mengatakan bahwa “ mereka (mahasiswa) tidak akan sampai turun
ke jalan kalau tidak ada sebabnya, mereka seperti itu karena mungkin ada
hak-hak yang tidak mereka dapatkan. Seperti contohnya adalah mungkin aspirasi
mereka yang ditolak dengan alasan yang kurang jelas, atau kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah tidak mengandung unsur keadilan.
Mungkin
pemaparan diatas itu menjadi salah satu penyebabnya. Bila kita cari tahu
kembali artike-artikel yang menceritakan peristiwa bersejarah tahun 98, kita
pasti akan menemukan benang merah penyebab peristiwa 98 tersebut, atau mungkin
sering kita sebut peristiwa reformasi. Perlu kita ketahui, peristiwa tersbut
ternyata disebabkan tiga point utama, yaitu oleh krisis politik, krisis
ekonomi, dan krisis sosial. Sudah jelas bukan? Lantas siapa yang harus
disalahkan dari peristiwa itu? Pemerintahkah yang tidak tegas dalam mengambil
keputusan sehingga banyak rakyat Indonesia yang turun ke jalan untuk menutut
keadilan? Ataukah rakyat Indonesia yang terkesan tidak memiliki etika sehingga
harus berbuat anarkis? Wahai Indonesiaku, benarkah keadilan serta kebenaran itu
mahal harganya pada zaman itu??
Setelah
peristiwa reformasi itu usai, lantas apa lagi yang terjadi di Indonesia?? Mari
kita tengok sejenak pada daerah pelosok Indonesia. Tidak cukup sedikit rakyat
Indonesia yang menderita bukan? Sesungguhnya untuk kasus kemiskinan di
Indonesia itu tidak sepenuhnya kesalahan pejabat-pejabat negara, melainkan ada
pula kesalahan-kesalahan rakyat Indonesia yang terkadang disebabkan karena
mereka tak mampu mengembangkan potensi dirinya untuk dapat bertahan hidup. Ironis
memang, disaat banyak rakyat Indonesia yang menderita di daerah tertinggal,
disana pula banyak para pejabat dengan seenaknya berpesta fora memakan uang
rakyat, kalau kasusnya seperti ini, saya jadi teringat dengan sepenggal syair
yang dilantunkan bang Haji Rhoma Irama pada salah satu lagunya “Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Makin
Miskin”
Terkait dengan KORUPSI, ya satu kata itu
sebetulnya cukup sensitif dibicarakan. Sebab Indonesia merupakan salah satu
negara yang tingkat korupsinya terbesar. Waaww sebuah penghargaan yang memukau
bukan?? Terkadang saya sempat berpikir apakah gaji pejabat-pejabat itu masih
kurang, sehingga harus memakan uang rakyat yang bukan menjadi miliknya? Miris
sekali bukan? Oh Indonesiaku, negara tercintaku, bagaimana mungkin dirimu dapat
dikendalikan oleh orang-orang yang saat ini sedang tersenyum merekah di balik
jeruji besi sana?
Keadialan.
Ya keadilan. Mungkin poin ini masuk kedalam permasalahan yang terjadi di
Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Saat ini keadilan itu begitu mahal.
Harus ada yang di korbankan terlebih dahulu. Entahlah apa yang membuat keadilan
itu baru akan tergerak ketika barang yang bernama “uang” sudah berbicara.
Banyak hal yang harusnya tidak terjadi, namun karena keadilan yang sulit untuk
ditegakkan, sehingga banyak pula orang-orang yang menderita karena
ketidakadilan tersebut. Mari kita ambil salah satu contoh kasus yang terjadi
beberapa waktu yang lalu, waktu itu media massa sempat ramai dengan pemberitaan
seorang nenek yang mencuri singkong kerana kelaparan, lantas nenek itu ditindak
pidana di pengadilan. Oh Indonesia, mengapa harus ada kasus seperti itu di
negerimu?? Mengapa pejabat-pejabat yang menghabiskan uang rakyat diberikan
fasilitas yang menyenangkan walau sudah didalam jeruji besi?? Kalau sudah
seperti ini siapakah yang harus bertanggung jawab??
Setelah keadilan, sepertinaya
Kepedulian juga harus menjadi hal utama untuk menyokong Indonesia untuk menjadi
lebih baik. Mengapa demikian?? Mari kita kaji kembali peristiwa-peristiwa
Internasional yang terangkum beberapa bulan terakhir ini. Mesir? Suriah?
Bagaimana kabar mereka saat ini? Bila kita membayangkan mereka yang disana
rasanya ingin menangis hati ini. Menangis karena kami disini tidak dapat
berbuat apa-apa. Menangis karena kami disini tidak mampu membuat pemimpin
negara kami untuk mengutuk keras kejadian di kedua negara tersebut, khususnya
negara mesir yang disinyalir sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan
Indonesia. Lantas dimana peran Indonesia saat ini?? Mengapa seakan berdiam
berpangku tangan? Oh tidak. Mungkin masih ada sebagian rakyat Indonesia yang
peduli dengan kejadian tersebut. Namun tetap saja, vocal pemimpin itu jauh
lebih berpengaruh. Sungguh, begitu banyak negara yang berharap peran serta
Indonesia dalam terselesainya pembantaian di Mesir dan Suriah. Tapi apa boleh
buat? Kenyataan berkata lain. Pemimpin Indonesia seakan menutup mata, telinga,
atau mungkin yang lebih parah yaitu “hati” ??
Oh, Indonesia...
Sesungguhnya
masih begitu banyak permasalahan yang belum terungkap. Namun begitulah
Indonesia. Sebuah Negara yang terlahir dengan berjuta-juta kenikmatan dari
Allah SWT. Karena tangan-tangan kami tak mampu mengenggam erat Indonesia, maka
seperti inilah Indonesia. Apa adanya.
Tapi, jauh dilubuk hati generasi-generasi muda saat ini, saya yakin
terdapat janji-janji mulia untuk merubah Indonesia menjadi lebih baik kembali. Menunggu,
ya menunggu. Mari kita menunggu semua itu terjadi. Kelak, pasti akan ada
pemimpin Indonesia yang mampu memimpin Indonesia dengan sebaik mungkin.
Pemimpin yang dapat menegakkan keadilan, memiliki kepedulian, pemimpin yang
bijak, dan yang terpenting pemimpin yang mampu mengayomi rakyatnya untuk
berperilaku lebih baik lagi.
Tenang,
Harapan Itu Masih Ada, Pasti Ada, dan Akan Selalu Ada, Selama Tangan-Tangan
Kita Ini Belum Lelah Menggenggam Indonesia
.... J
0 komentar:
Posting Komentar