Label

"Surat Cinta Untuk Indonesia"

Selasa, 07 Januari 2014


Dear Negara Tercintaku, Indonesia ...

Indonesia, satu kata itu cukup mempengaruhi ranah hidupku.  Aku lahir di negara itu, dan aku dibesarkan pula di negara itu. Mungkin bukan hanya mempengaruhi ranah hidupku, melainkan ranah hidup rakyat Indonesia yang lain.
Negara tetangga banyak yang mengakatakan, bahwa Indonesia adalah wilayah yang katanya berkependudukan padat, wilayah yang katanya strategis dalam kancah perdagangan, wilayah yang katanya memiliki sumber daya alam utama terbanyak, dan wilayah yang katanya hijau dan sejuk dengan pepohonan rindang serta gunung-gunung yang membentang disetiap dataran tinggi di Indonesia. Namun bila kita telaah lebih jauh kembali, apakah semua itu sudah menjadi realitas saat ini??  Sepertinya semua itu hanya terdengar “katanya” ditelinga rakyat Indonesia. Lantas apa yang sesungguhnya terjadi?? Sepertinya rakyat Indonesia tidak menikmati keindahan Indonesia yang sesungguhnya. Sepertinya, apapun yang dilontarkan dari negara-negara tetangga tersebut seakan-akan hanya kamuflase belaka bagi rakyat Indonesia. Mengapa harus adahal seperti itu wahai Indonesiaku?? Karena sepertinya yang menikmati keindahan Indonesia itu hanya para tuan-tuan berpakaian jas dan berdasi saja, serta nyonya berpakaian dress mewah dengan highheels yang terkadang kita tak sanggup untuk mengukur ketinggian haknya. Miris bukan?? Benarkah Indonesiaku seperti itu??
Mari kita potret ulang, kilas balik Indonesia beberapa tahun silam hingga tahun ini. Kita awali dengan peristiwa tahun 98, peritiwa ini cukup mengegerkan berbagai belahan dunia saat itu. Bila digambarkan, yang teringat oleh banyak orang mungkin hanya terlihat mahasiswa yang kerap turun ke jalan, aksi sana-sini, namun dibalik itu semua sebetulnya dilakukan untuk mempertahankan aspirasinya, memprtahankan keadilan yang sesungguhnya. Saya sempat teringat dengan kata seorang kakak tingkat saya dulu, beliau pernah bertanya kepada saya seperti ini, “apakah tanggapan kamu tentang aksi-aksi mahasiswa yang turun ke jalan?” diawal saya bilang kalau aksi itu “menakutkan”, lantas kaka itu mencoba untuk menengahi, beliau mengatakan bahwa “ mereka (mahasiswa) tidak akan sampai turun ke jalan kalau tidak ada sebabnya, mereka seperti itu karena mungkin ada hak-hak yang tidak mereka dapatkan. Seperti contohnya adalah mungkin aspirasi mereka yang ditolak dengan alasan yang kurang jelas, atau kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak mengandung unsur keadilan.
Mungkin pemaparan diatas itu menjadi salah satu penyebabnya. Bila kita cari tahu kembali artike-artikel yang menceritakan peristiwa bersejarah tahun 98, kita pasti akan menemukan benang merah penyebab peristiwa 98 tersebut, atau mungkin sering kita sebut peristiwa reformasi. Perlu kita ketahui, peristiwa tersbut ternyata disebabkan tiga point utama, yaitu oleh krisis politik, krisis ekonomi, dan krisis sosial. Sudah jelas bukan? Lantas siapa yang harus disalahkan dari peristiwa itu? Pemerintahkah yang tidak tegas dalam mengambil keputusan sehingga banyak rakyat Indonesia yang turun ke jalan untuk menutut keadilan? Ataukah rakyat Indonesia yang terkesan tidak memiliki etika sehingga harus berbuat anarkis? Wahai Indonesiaku, benarkah keadilan serta kebenaran itu mahal harganya pada zaman itu??
Setelah peristiwa reformasi itu usai, lantas apa lagi yang terjadi di Indonesia?? Mari kita tengok sejenak pada daerah pelosok Indonesia. Tidak cukup sedikit rakyat Indonesia yang menderita bukan? Sesungguhnya untuk kasus kemiskinan di Indonesia itu tidak sepenuhnya kesalahan pejabat-pejabat negara, melainkan ada pula kesalahan-kesalahan rakyat Indonesia yang terkadang disebabkan karena mereka tak mampu mengembangkan potensi dirinya untuk dapat bertahan hidup. Ironis memang, disaat banyak rakyat Indonesia yang menderita di daerah tertinggal, disana pula banyak para pejabat dengan seenaknya berpesta fora memakan uang rakyat, kalau kasusnya seperti ini, saya jadi teringat dengan sepenggal syair yang dilantunkan bang Haji Rhoma Irama pada salah satu lagunya  “Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Makin Miskin”
 Terkait dengan KORUPSI, ya satu kata itu sebetulnya cukup sensitif dibicarakan. Sebab Indonesia merupakan salah satu negara yang tingkat korupsinya terbesar. Waaww sebuah penghargaan yang memukau bukan?? Terkadang saya sempat berpikir apakah gaji pejabat-pejabat itu masih kurang, sehingga harus memakan uang rakyat yang bukan menjadi miliknya? Miris sekali bukan? Oh Indonesiaku, negara tercintaku, bagaimana mungkin dirimu dapat dikendalikan oleh orang-orang yang saat ini sedang tersenyum merekah di balik jeruji besi sana?
Keadialan. Ya keadilan. Mungkin poin ini masuk kedalam permasalahan yang terjadi di Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Saat ini keadilan itu begitu mahal. Harus ada yang di korbankan terlebih dahulu. Entahlah apa yang membuat keadilan itu baru akan tergerak ketika barang yang bernama “uang” sudah berbicara. Banyak hal yang harusnya tidak terjadi, namun karena keadilan yang sulit untuk ditegakkan, sehingga banyak pula orang-orang yang menderita karena ketidakadilan tersebut. Mari kita ambil salah satu contoh kasus yang terjadi beberapa waktu yang lalu, waktu itu media massa sempat ramai dengan pemberitaan seorang nenek yang mencuri singkong kerana kelaparan, lantas nenek itu ditindak pidana di pengadilan. Oh Indonesia, mengapa harus ada kasus seperti itu di negerimu?? Mengapa pejabat-pejabat yang menghabiskan uang rakyat diberikan fasilitas yang menyenangkan walau sudah didalam jeruji besi?? Kalau sudah seperti ini siapakah yang harus bertanggung jawab??
            Setelah keadilan, sepertinaya Kepedulian juga harus menjadi hal utama untuk menyokong Indonesia untuk menjadi lebih baik. Mengapa demikian?? Mari kita kaji kembali peristiwa-peristiwa Internasional yang terangkum beberapa bulan terakhir ini. Mesir? Suriah? Bagaimana kabar mereka saat ini? Bila kita membayangkan mereka yang disana rasanya ingin menangis hati ini. Menangis karena kami disini tidak dapat berbuat apa-apa. Menangis karena kami disini tidak mampu membuat pemimpin negara kami untuk mengutuk keras kejadian di kedua negara tersebut, khususnya negara mesir yang disinyalir sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Lantas dimana peran Indonesia saat ini?? Mengapa seakan berdiam berpangku tangan? Oh tidak. Mungkin masih ada sebagian rakyat Indonesia yang peduli dengan kejadian tersebut. Namun tetap saja, vocal pemimpin itu jauh lebih berpengaruh. Sungguh, begitu banyak negara yang berharap peran serta Indonesia dalam terselesainya pembantaian di Mesir dan Suriah. Tapi apa boleh buat? Kenyataan berkata lain. Pemimpin Indonesia seakan menutup mata, telinga, atau mungkin yang lebih parah yaitu “hati” ??
            Oh, Indonesia...
Sesungguhnya masih begitu banyak permasalahan yang belum terungkap. Namun begitulah Indonesia. Sebuah Negara yang terlahir dengan berjuta-juta kenikmatan dari Allah SWT. Karena tangan-tangan kami tak mampu mengenggam erat Indonesia, maka seperti inilah Indonesia. Apa adanya.  Tapi, jauh dilubuk hati generasi-generasi muda saat ini, saya yakin terdapat janji-janji mulia untuk merubah Indonesia menjadi lebih baik kembali. Menunggu, ya menunggu. Mari kita menunggu semua itu terjadi. Kelak, pasti akan ada pemimpin Indonesia yang mampu memimpin Indonesia dengan sebaik mungkin. Pemimpin yang dapat menegakkan keadilan, memiliki kepedulian, pemimpin yang bijak, dan yang terpenting pemimpin yang mampu mengayomi rakyatnya untuk berperilaku lebih baik lagi.

Tenang, Harapan Itu Masih Ada, Pasti Ada, dan Akan Selalu Ada, Selama Tangan-Tangan Kita Ini Belum Lelah Menggenggam Indonesia  .... J


                                                                                           
    

0 komentar:

Posting Komentar